Powered By Blogger

welcome

welcome di website pribadi ALFI ASYURA
zwani.com myspace graphic comments




e-mail : alfi_aja1989@yahoo.co.id atau alfi.asyura@gmail.com
friendster : alfi89@gmail.com




anda boleh membaca blog ini dan mengcopy nya..selamat membaca..

Minggu, 30 November 2008


Reposisi Mahasiswa dan "tukak" Reformasi

Apakah yang akan terjadi jika reformasi sebagian besar diisi oleh orang-orang orde baru? Maka hasilnya adalah agenda reformasi jalan di tempat dan berjalan tersendat-sendat. Terbukti kemudian perubahan paradigma hanyalah janjji kosong belaka, belum begitu banyak perubahan signifikan yang berarti untuk rakyat. Banyak sebab yang sangat kompleks dan latar belakang hal ini terjadi. Selain itu juga disebabkan oleh gerakan radikal yang kehilangan pengaruh.

Pergeseran eskalasi masalah jelas terjadi, dahulu musuh bersama dibangun untuk meruntuhkan kekuatan rejim Soeharto, kini kita menghadapi diri kita dan kawan sendiri. Dahulu kita sibuk dengan masalah yang berada ditingkat pusat, kini kita juga sibuk berat dengan masalah yang kemudian merembes ditingkat daerah. Bukan main !!!

Dampak demokrasi liberal, masalah korupsi dan penegakan hukum, sector ekonomi yang tidak lagi berpihak pada rakyat, kebijakan anggaran publik dan birokrasi, dsb., jika diurai satu persatu amat sangat panjang dan membutuhkan analisa serta penjelasan sangat detail, begitu pula solusi cerdas yang dapat menjadi obat mujarab bagi rakyat. Itupun masih harus dikaji dan seringkali terjadi perdebatan yang melelahkan.

Menghidupkan kembali elan spirit organisasi mahasiswa dimasa lalu seperti Dewan Mahasiswa artinya, melakukan percepatan pendewasaan dan kemandirian, juga tujuan organisasi. Bukan berarti hanya sekedar memanfaatkannya sebagai alat untuk mengumpulkan massa (matchforming) belaka, tetapi manifestasi sebagai insan intelektual dan akademis yang bertanggung jawab dan cerdas.

5 (lima) hal yang harus diambil dan dipetik dari Pemerintahan Mahasiswa (Student Government) tersebut adalah; 1. pemilu raya mahasiswa, 2. independensi organisasi mahasiswa, 3. pemerintahan mahasiswa yang baik dan bersih (good and clean student government), 4. otoritas dana kemahasiswaan, 5. keterbukaan dan bertanggung jawab (transparancy and acuntability).

Inilah substansi dari adanya Pemerintahan Mahasiswa, tentu setiap langkah membutuhkan adanya solusi yang sama, saling menguntungkan, juga menghilangkan perbedaan, dan kecurigaan diantara para aktivis. Seperti misalnya ketika dimasa lalu dibeberapa kampus, bagaimana UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) dan SMPT/ SEMA bersiteru sangat keras mendapatkan proporsi jatah dana kemahasiswaan, dan secara struktur hanya sebatas garis koordinasi saja (akibat NKK-BKK, mungkin pragmatisme, kecurigaan,otonomi, profesionalitas, dsb).

Hal ini juga disebabkan tidak transparannya dana kemahasiswaan yang dikelola oleh pihak rektorat- dekanat dan system yang dibangun tersebut diatas, akhirnya berujung merugikan kedua lembaga mahasiswa tersebut. Karena tarik menarik kepentingan ego sektarian, berakibat tidak pernah bersatunya para mahasiswa dan organisasi mahasiswa intra kampus yang sehat. Jadi sangat wajar, jika di UI dan UPI peran dan fungsi PR 3 dan PD 3 seperti dimasa lalu sudah dihapuskan (dibubarkan).

Dana turun semuanya (block grand) lebih tepat sebagai upaya memberdayakan dan belajar bertanggung-jawab dengan alokasi dana yang telah ada. Maka, sudah saatnya dana kemahasiswaan dikelola oleh mahasiswa dipertanggung-jawabkan kepada mahasiswa, dan diawasi secara bersama pada periode kepengurusan berakhir.

Jalinan organisasi yang dibangun secara structural hendaknya dipahami sebagai bagian tubuh yang utuh tidak berjalan sendiri-sendiri, apalagi didasari kepentingan tertentu. BEM Universitas, Fakultas, Himpunan misalnya, garis komando mestilah jelas dan jangan melanggar kesepakatan yang telah disepakati bersama, serta harus mampu menghilangkan vested interest perbedaan kepentingan ideology masing-masing aktivis diluar organisasi intra kampus. Jernih, logis, dan ilmiah dalam koridor yang dapat dipertanggung-jawabkan.

Masalah konflik lainnya diluar AD/ART, hendaknya diselesaikan pula menggunakan cara penyelesaian rekonsiliasi (musyawarah), negosiasi, mediasi, arbitrase, dan pengadilan, jika dibutuhkan untuk mencegah dampak lainnya. Dapat meminta bantuan lembaga yang setara seperti rektorat, jika diminta.

Program kegiatan mahasiswa harus lebih berakar pada kebutuhan serta misi-visi sesuai dengan tujuan organisasinya, serta tidak mengambil kegiatan yang sama. DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa) Fakultas misalnya, harus mampu menjadi jembatan aspirasi dan jaringan (network) antar kelas dikalangan mahasiswa serta lembaga legislative yang mengawasi, juga meminta laporan pertanggung jawaban BEM, begitupula DPM universitas. Himpunan mahasiswa sesuai dengan bidang keilmuannya diberdayakan dengan atmosphere akademis yang kondusif, sementara BEM Fakultas menyoal kebijakan strategis dan politis, yang mestilah mumpuni mengambil keputusan.

Begitupula seorang Presiden Mahasiswa BEM dengan para menterinya ditingkat pusat mampu menjadi jembatan lintas aspirasi antar fakultas dan mencermati kondisi real yang terjadi didalam, serta eksternal kampus, juga mengambil kebijakan yang tepat dan telah diperhitungkan secara matang. Saya sangat berharap sekali sejak dulu seorang Presma memiliki wibawa yang sama dengan seorang Rektor.

DPM dan MPM (Majelis Perwakilan Mahasiswa) sebagai lembaga legislatif ditangan andalah aspirasi mahasiswa, mengawasi, dan menerima laporan pertanggung jawaban BEM dibuktikan melalui Musma, Mubes, bahkan Sidang Istimewa. Untuk UKM sebagai organisasi minat dan bakat mahasiswa, teruslah berkarya dengan segala upaya dan kemampuan, serta kreativitas yang dimiliki.

Forum Komunikasi UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang umumnya dibangun sejajar dengan BEM hendaknya mampu menjadi forum yang dapat membantu akses lancarnya kebutuhan kegiatan mahasiswa, dan hendaknya juga tidak begitu alergi dengan realitas sosial dan politik yang terjadi, harus saling sinergis ! Jika seperti Dewan Mahasiswa dimasa lalu, mungkin sudah dibawah garis komando seorang Presma.

Di Untirta sendiri adanya struktur baru seperti KBM (Keluarga Besar Mahasiswa) selama ini cukup bagus sebagai wadah keluarga besar yang mencoba menjadi perekat ikatan emosional para aktivis dan permasalahan yang ada diseputar kampus, bahkan menjadi penyelenggara kegiatan besar seperti PSA-OPSPEK kampus dan kegiatan lainnya. Tetapi suatu saat dimasa datang akan menyulitkan peran BEM/DPM/MPM Universitas jika bertabrakan, jadi mesti diatur dengan mekanisme peraturan yang jelas.

Demikian sedikit yang saya pahami mengenai organisasi intra kampus, juga tanpa mengurangi peran dari komunitas lain yang berperan cukup besar bagi dunia kampus kita. Sebagai penutup kurang lebihnya mohon maaf, bila ada yang kurang berkenan. Wassalam. Hidup Mahasiswa! Salam Revolusi !

Dari kutipan Lagu Totalitas Perjuangan di atas seolah ingin memberi tahu kita bahwasanya sejarah berbagai negara biasanya berbesar hati telah mengabadikan peran-peran signifikan gerakan mahasiswa dalam berbagai momentum besar negara tersebut. Namun faktanya, tak sedikit sejarah yang menjadikannya tak mampu menangkap gelora semangat, gelombang antusiasme dan aura idealisme yang menyertai pergerakannya yang monumental. Sungguh merupakan suatu niatan yang mulia dan sudah menjadi tugas mahasiswa sebagai agent of change di negeri yang sedang belajar berdemokrasi ini. Sejarah telah membuktikan bahwa gerakan mahasiswa merupakan kekuatan politik yang cukup diperhitungkan di negeri ini. Bukan apa, mahasiswa dengan kekuatan moralnya telah terbukti menjadi kekuatan berpengaruh sejak zaman pra kemerdekaan, revolusi, hingga reformasi.

Kini gejala menarik seputar pergerakan mahasiswa yang terekspos media massa belakangan ini adalah fragmentasi gerakan mahasiswa. Mahasiswa yang selama ini sebagai agen perubahan sosial yang independen dan nonpartisan, menjadi terpecah bahkan lumpuh gerakannya, karena terjerembab pada sikap keberpihakan dan tergiur tawaran-tawaran manis politik praktis,". Jika itu terjadi, gerakan mahasiswa berubah dari oposisi menjadi jalinan hubungan kerjasama, dari independen menjadi patronase. Selain itu, dari kritis menjadi apologis, dari idealis menjadi pragmatis dan dari integral menjadi terpecah. Kini mahasiswa cenderung terjebak berpikir pragmatis parsial dan tidak komprehensif. Sehingga yang terjadi, sebagian ikut meramaikan aksi mendukung atau menolak kandidat tertentu, ada yang bersikap moderat dan netral, dan ada yang bersikap ekstrem menolak pemilu dengan alasan-alasan tertentu pula. Sekalipun tampak terpecah, sesungguhnya terdapat persamaan pandangan mengenai kondisi bangsa dalam perspektif kekinian maupun masa depan.

Para aktivis mahasiswa satu suara dalam menuntut perubahan kehidupan bangsa pada kondisi yang lebih baik. Hal ini memang sudah sewajarnya karena senyatanya perubahan inilah yang menjadi tujuan reformasi dan demokratisasi. Bagi mahasiswa dengan segudang idealismenya, mencapai sebuah kemajuan tidak mengenal kata akhir. Untuk itu, sikap kritis dan ketidakpuasan terhadap sistem yang ada harus selalu melekat pada diri mahasiswa. Dengan sikap tersebut sama artinya mahasiswa telah menempatkan diri sebagai oposisi nonstruktural yang bisa mendatangkan manfaat bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan jika sikap oposisi ini dilakukan secara bersama-sama, pasti bisa mendatangkan kekuatan berlipat ganda untuk mempercepat perbaikan bangsa. Itulah idealnya…

Sayangnya, dari sekian juta mahasiswa di Indonesia, tidak banyak yang bergerak ideal, hanya sedikit. Kesan mahasiswa sebagai kekuatan solid dan inklusif, lambat laun mengalami metamorpose seiring dengan perkembangan jaman dan terancam berubah elitis dan kurang mengakar pada masyarakatnya.

Intelektual harus mampu memandang sesuatu secara luas dengan melihat interelasi berbagai persoalan dalam merumuskan konsep dan aksi penyelesaian. Kemampuan seperti ini oleh sebagian pengamat yang notabene mantan aktivis, dinilai semakin berkurang. Sikap ini melahirkan sikap-sikap turunan seperti, merasa benar sendiri, kebiasaan mengeneralisasi sesuatu dengan mudah, bahkan ada yang secara naif memersepsikan aktivis hanya dengan mengetahui cara demonstrasi, berintrik, berkolaborasi, dan berkonspirasi. Sikap-sikap seperti ini tidak akan menghadirkan nilai positif bagi pergerakan mahasiswa ke depan, bahkan bisa merendahkan level kultur politik yang dimilikinya.

Gelar intelektual sejati sudah di ujung tanduk, kecuali mahasiswa melakukan perubahan. Para aktivis yang memiliki level kultur politik lebih tinggi, mau tidak mau harus menjelmakan diri menjadi golongan creative minority (karena jumlahnya memang tidak banyak) dan melakukan pencerahan terus-menerus. Mereka harus mampu berkomunikasi dengan masyarakatnya agar terbimbing dan tidak jatuh ke dalam kebutaan politik yang lebih parah. Mereka harus bicara dan hadir di setiap kesempatan untuk memperbaiki situasi. Jika hal ini terjadi, pergerakan mahasiswa akan kembali bersemi

Tugas inti kita sekarang, bagaimana mengoptimalkan keseluruhan peran dan fungsi kita sebagai mahasiswa. Fungsi yang dimaksud adalah fungsi intelektual akademisi, fungsi cadangan masa depan (iron stock), fungsi agen perubah (agent of change), dll. Kata kuncinya adalah menjadi pembelajar sejati, sehingga mahasiswa mampu memiliki kedewasaan yang jauh meninggalkan umurnya dan pandangan-pandangan yang jauh meninggalkan zamannya. Agar kita senantiasa siap memenuhi panggilan kehidupan untuk menoreh sejarah kepahlawanan sebagai pemimpin sejati!

Tidak ada komentar: