Powered By Blogger

welcome

welcome di website pribadi ALFI ASYURA
zwani.com myspace graphic comments




e-mail : alfi_aja1989@yahoo.co.id atau alfi.asyura@gmail.com
friendster : alfi89@gmail.com




anda boleh membaca blog ini dan mengcopy nya..selamat membaca..

Selasa, 06 Juli 2010

Persoalan tanah di Sumatera Barat, memang menarik untuk diperhatikan mengingat bahwa tanah bagi masyarakatnya bukan saja berfungsi sebagai tempat tinggal, sumber produksi atau pendapatan, tetapi juga mempunyai fungsi sosial dimana dengan tanah tersebut dapat mencerminkan kedudukan sosial dan status seseorang ditengah masyarakat atau dengan kata lain tanah sebagai dasar dari perbedaan sosial di dalam masyarakat. Begitu pentingnya tanah ini dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, sehingga tidaklah mengherankan seringnya muncul permasalahan seperti dalam hal kepemilikan tanah itu sendiri.

Kalau kita telusuri lebih jauh, sesungguhnya masalah pertanahan terutama masalah pemilikan tanah di Sumatera Barat tidak hanya sekarang ini muncul bahkan pada masa pemerintahan kolonial sudah terjadi. Semenjak diperkenalkan usaha yang agak baru dalam masyarakat Sumatera Barat yakni usaha tanam paksa kopi hingga dibekukan tahun 1908.(Mestika Zed, 1983). Pada masa adanya sistem tanam paksa kopi inilah munculnya ondernemingen. (Cristine Dobbin). Ondernemingen merupakan istilah yang ada dalam literature Belanda yang juga disebut dengan perkebunan-perkebunan besar Ondernemingen (perkebunan-perkebunan besar).

Sistem tanam paksa kopi yang dilembagakan tahun 1847 hingga 1908 memperlihatkan fenomena pengunaan jenis tanah adat yang bervariasi sifatnya. Pada awal pemberlakukannya, tanah pekarangan yang berada disekitar pemukiman penduduk dimanfaatkan untuk memproduksi kopi. Kemudian pada masa ini banyak kendala yang dihadapi oleh pemerintah kolonial terutama dalam masalah tanah, di daerah Minangkabau yang terdiri dari nagari-nagari yang bersifat otonom dan memiliki banyak penguasa, serta tidak mengenal adanya tanah-tanah yang tidak bertuan.

Hukum adat Minangkabau selama ini dipandang sebagai kendala dalam pengambil alihan tanah oleh pemerintah, karena tanah yang tidak bertuan tidak terdapat di Minangkabau. Posisi hak ulayat atas tanah relatif masih kuat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau waktu itu. Akibatnya upaya penyedian tanah gerapan menjadi terkendala. Berdasarkan hal tersebutlah akhirnya memaksa pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan UU Agraria 1875 (nomor.199a) yang bersikan domeinverklaring, yaitu pernyataan pemerintah bahwa tanah ulayat nagari dicaplok menjadi milik negara, diatas tanah-tanah itulah perkebunan liberal dilangsungkan di Sumatera Barat.

Dalam konteks inilah, pemerintah Belanda juga melakukan hukum sewenang-wenang terhadap rakyat dalam hal tanah. Menurut ketentuan adat tanah ulayat di Minangkabau dapat berbentuk : Rimbo, Biluka dan Sasok. Status dari tanah ulayat ini merupakan tanah nagari dan rakyat dalam nagari bisa saja mengerjakan asal sepengetahuan dan izin dari penghlu yang mempunyai hak ulayat, sebagai wakil nagari atas tanah tersebut. Jenis tanah ini mulai diusik pemerintah Belanda sewaktu dimulainya praktek ekonomi melalui perkebunan besar milik swasta, dengan mencaplok tanah hak milik masyarakat dan dijadikannya sebagai milik negara (terkenal dengan domeinverklaring). Munculnya domeinverklaring berarti penghapusan hak ulayat di Minangkabau, sama artinya penghapusan hukum kewarisan dalam hukum adat, karena tanah ulayat melambangkan persekutuan hukum dalam masyaraka (Elfianis, 1994).

Kemudian tahun 1922 Belanda menerapkan sistem pajak tanah, yang termasuk pajak rumah gadang.Tindakan ini merupakan penghinaan langsung kepada tanah milik Minangkabau.(Akira Oki). Kebijakan diatas yang dilakukan oleh pemerintah Belanda terhadap tanah di Minangkabau telah menimbulkan pemberontakan komunis pertengahan tahun 1920-an . Hal tersebut diperparah lagi akibat kebijaksanaan kolonial Belanda di Minangkabau, dengan banyaknya penghulu yang diangkat oleh pemerintah maka wibawa penghulu semakin terkikis sehingga menimbulkan konflik antar masyarakat di Minangkabau, dimana hal tersebut terjadi adanya perbenturan hak ulayat dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Belanda di Indonesia terutama untuk memuluskan usaha mereka dalam bidang ekonomi.

Kesemua hal tersebut dapat kita telusuri dari beberapa hasil penelitian para sejarawan, misalnya karya Mestika Zed dalam”Melayu Kopi Daun : Eksploitasi Kolonial dalam Sistem Tanam Paksa Kopi di Minangkabau, Sumatera Barat (1847-1908) menjelaskan bahwa Belanda berusaha keras untuk meningkatkan hasil produksi dengan jalan menambah luas areal dan memaksa penduduk menanami tanahnya. Dalam hal ini Belanda membebaskan tanah nagari dan tanah gembala. Kemudian karya Taufik Abdullah dalam karyanya yang berjudul, School and Politics : The Kaum Muda Movement in West Sumatera (1927-1933) menjelaskan bahwa pemerintah Belanda juga mengeluarkan peraturan agrarian tahun 1915 yang menyatakan bahwa semua tanah yang tidak ditempati jatuh pada hak hukum pemerintah dengan demikian konsep tanah adat tidak diakui lagi.

Pada masa orde baru diawali dengan munculnya Supersemar yang kemudian memberikan kewenangan bagi Soeharto untuk melaksanakan pemerintahan. Permasalahan tanah juga muncul, dimana posisi rakyat kecil atau masyarakat masih dalam posisi yang terugikan. Pada masa orde baru tersebut, konflik pertanahan yang muncul terutama konflik pertanahan antara rakyat dengan pemerintah. Muncul konflik pertanahan antara rakyat dengan pemerintah yang itu lebih disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut Pertama, pelaksanaan keharusan musyawarah antar panitia pembebasan tanah dengan pihak yang terkena pembebasan tanah. Kedua, penetapan ganti rugi yang sering dikatakan jauh dari memadai. Ketiga, pembayaran ganti rugi yang adakalanya mengalami keterlambatan. Keempat, prosedur ganti rugi tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Orde reformasi yang seharusnya merubah kesemuanya itu, namun apa yang terjadi pada masa sebelumnya tetap terjadi bahkan semakin kompleks. Rakyat masih dalam pihak yang terugikan juga. Menurut penulis, kalau kita telusuri dengan seksama konflik tanah yang terjadi di masyarakat pada saat ini dapat kita bagi menjadi tiga yakni:
Pertama, antara sesama anggota masyarakat. Konflik antar sesama anggota masyarakat terjadi berkaitan dengan penguasaan oleh pihak yang tidak berhak, dalam arti orang luar masyarakat hukum adat tersebut. Pada sangketa antar anggota masyarakat ini biasanya dapat diselesaikan secara bersama-sama dengan berperannya ninik mamak atau melalui proses peradilan.

Kedua, antar masyarakat hukum adat dengan pemerintah. Konflik ini dalam arti perjuangan pengakuan keberadaannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini terjadi karena ketentuan yang tidak memungkinkan masyarakat hukum adat akses ke tanah ulayatnya. Sebagai contoh dalam bidang kehutanan, selama ini masyarakat mengambil hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, karena sumber daya hutan mengandung kekayaan alam yang cukup besar, maka untuk meningkatkan nilai ekonominya dilakukan ekploitasi secara besar-besaran. Tentunya dalam eksploitasi yang demikian masyarakat yang sangat sederhana tersebut tidak tahu dan tidak mampu untuk akses.

Ketidaktahuan dan ketidakmampuan masyarakat ini kurang atau hampir tidak dilirik, akibatnya mereka terabaikan atau terkesampingkan. Hal ini dapat diketahui dari HGU (Hak Guna Usaha) yang telah diberikan kepada pengusaha perkebunan. HGU diberikan dengan melakukan konversi hutan produksi untuk dijadikan areal perkebunan. Konversi hutan produksi untuk dijadikan areal perkebunan. Konversi hutan produksi untuk dijadikan areal perkebunan. Konversi hutan produksi berarti melakukan pengambilan hasil hutan berupa kayu, dan lainnya, maka perusahaan pemegang HGU yang diuntungkan.

Ketiga, antar masyarakat hukum adat dengan pengusaha (investor). Sesungguhnya dalam pembangunan perkebunan di Indonesia ini tida begitu saja adanya namun dibingkai oleh payung hukum. Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) d UU Nomor 5 Tahun 1960 menegaskan bahwa pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persedian, peruntukan dan pengunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekeyaan alam yang terkandung di dalamnya untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perkebunan serta yang sejalan dengan itu. Dengan mengacu kepada isi pasal ini dan dikaitkan dengan Pasal 6 UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) maka dalam rangka meningkatkan produksi pertanian dilakukan pembangunan perkebunan.

Kegiatan pembangunan ini dinyatakan yakni dilakuan dengan pelepasan tanah ulayat oleh masyarakat adat. Dinyatakan pelepasan oleh masyarakat pada masa itu adalah dengan pemberian “siliah jariah” tidak dapat disamakan dengan jual beli, tetapi berarti siliah yang dilakukan oleh pihak lain kepada pemilik tanah selama tanah tersebut digunakan oleh orang lain. Tidak mengunakan selama waktu tertentu tersebut harus dibayar jariahnya .Siliah jariah tidak dapat dapat diartikan pelepasan tanah untuk selamanya. Karena pada masyarakat Minangkabau dikenal konsep “ kabau tagak kubangan tingga” artinya jika pihak luar yang mengunakan tanah tersebut tidak lagi mengunakan tanahnya, maka tanah tersebut kembali kepada masyarakat. Namun banyak sekali kejadian yang memperlihatkan kepada kita, protes yang dilakukan oleh masyarakat disekitar perkebunan misalnya akibat tindakan dari para investor yang merugikan masyarakat setempat.

Menelusuri Konflik Tanah di Ranah Minang

Ada beberapa pristiwa penting dalam sejarah Minangkabau yang menyangkut tentang tanah, yaitu pertama, konflik akibat perbenturan antara hukum waris Minangkabau dengan Hukum Waris Islam. Kedua, perbenturan hukum adat Minangkabau dengan kebijaksanaan Kolonial Belanda tentang masalah tanah di Minangkabau. Kedua, karena adanya perkembangan ekonomi uang dan merantau yang mengakibatkan adanya tekanan jumlah penduduk merubah pola pengunaan tanah.

Konflik akibat perbenturan antara hukum adat waris Minangkabau dengan hukum waris Islam tidak terlepas dari gerakan padri .Menurut Taufik Abdullah, gerakan tersebut bertujuan inggin menciptakan masyarakat Islam di Minangkabau. Gerakan ini berusaha menghapuskan Adat Jahiliyah Minangkabau, suatu istilah yang sering diungkapkan penulis dari kalangan Islam. Gerakan ini sesungguhnya belum mengungkit masalah warisan Minangkabau. Kemudian gerakan pembaharuan sesudahnya mulai mempertanyakan soal warisan menurut Adat Minangkabau. Hamka di dalam bukunya yang berjudul Islam dan Adat Minangkabau (1985) menjelaskan bahwa tokoh-tokoh yang membantah aturan adapt Minagkabau sesudah golongan Padri adalah Ahmad Khatib dan Haji Agus Salim. Sesudah itu adalah golongan Mu’tadilin, yang bersikap damai yaitu Abdulkari, Amarullah (ayah Hamka sendiri) dan Ulama Perti.

Gerakan reformis Islam akhir abad ke 19 dan awal abad 20 terutama di pedalaman mengarahkan serangannya terhadap seluruh tatanan yang ada, seperti sekolah-sekolah tarekat dan hukum waris matrilineal (Taufik Abdulla, 1988). Tokoh reformis Islam yang paling keras dalam hal ini adalah Ahmad Khatib. Ahmad Khatib mengatakan bahwa harta warisan di Minangkabau adalah haram ( Amir Syarifuddin, 1982). Hal ini menimbulkan konflik antara yang mendukung Ahmad Khatib dan yang menolak pendapat itu. Menurut A.A.Navis dalam bukunya yang berjudul Alam Terkembang Jadi Guru (1984) menjelaskan hal tersebut diperparah lagi ketika pada tahun 1904, Haji Yahya, murid Ahmad Khatib yang mendukung pendapat Ahmad Khatib kembali ke Minangkabau telah meresahkan masyarakat dan kemudian Haji Yahya ditangkap oleh Belanda. Haji Yahya di tangkap Belanda , karena Belanda merasa takut akan dapat membahayakan kedudukannya di Minangkabau.

Kemudian Ulama sesudah Ahmad Khatib yaitu Abdulkarim Amarullah yang lebih moderat terhadap warisan di Minangkabau. Abdulkarim Amarullah adalah murid Ahmad Khatib, yang dikenal juga dengan nama H. Rasul. Menurut Hamka dalam buku yang diedit oleh Muctar Naim yang berjudul Mengali Hukum Tanah dan Hukum Waris di Minangkabau (1968) mengatakan bahwa Haji Rasul tersebut melihat harta pusaka terpisah dari harta pencaharian. Haji Rasul berpendapat bahwa harta pusaka sama keadaannya dengan wakaf yang pernah diberlakukan oleh Umar bin Khatab atas harta yang didapatnya di Khaybar yang telah dibekukan tassarrufnya dan hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Haji Rasul juga berpendapat bahwa harta pencaharian adalah hak anak, maka diberlakukan hukum faraid.

Kemudian juga menurut Hamka didalam bukunya yang berjudul Ayahku (1967) menjelaskan sebagai seorang yang moderat, Haji Rasul juga berpendapat bahwa harta pusaka adalah harta pusaka yang murni yang tidak tercampur harta pencaharian. Harta itu disamakan wakaf. Pendapat ini di dukung oleh ulama Perti dan Sulaiman ar Rusuli. Pendapat ini merupakan pencegah konflik antara kaum pembaharu Islam dengan kaum yang mempertahankan adapt, tentang tanah warisan di Minangkabau.

Kedua, terjadinya perbenturan hukum adat Minangkabau dengan kebijaksanaan kolonial Belanda tentang masalah tanah di Minangkabau.Pemerintah colonial Belanda datang ke Indonesia umumnya dan ke Minangkabau khususnya tidak terlepas dari inggin mendapatkan keuntungan dari hasil bumi daerah tersebut. Mereka melakukan eksploitasi sumber daya alam guna mendapatkan keuntungan tersebut, pernyatan tersebut sesungguhnya sampai sekarang belum bisa terbantahkan.Dalam hal ini Belanda membebaskan tanah nagari dan tanah gembala. Tindakan ini mendapat protes dari masyarakat Minangkabau. Benturan antara Islam dengan pemerintah Belanda mengakibatkan kebangkitan kaum adapt yang inggin memurnikan adapt dari pengaruh luar.

Kemudian menurut Taufik Abdullah dalam karyanya yang berjudul, School and Politics : The Kaum Muda Movement in West Sumatera (1927-1933) menjelaskan bahwa pemerintah Belanda juga mengeluarkan peraturan agrarian tahun 1915 yang menyatakan bahwa semua tanah yang tidak ditempati jatuh pada hak hukum pemerintah dengan demikian konsep tanah adapt tidak diakui lagi. Kemudian tahun 1922 Belanda menerapkan sistem pajak tanah, yang termasuk pajak rumah gadang. Tindakan ini merupakan penghinaan langsung kepada tanah milik Minangkabau. Kebijakan pemerintah Belanda terhadap tahah di Minangkabau telah menimbulkan pemberontakan komunis tahun 1920-an. Karena terjadinya pembenturan hak ulayat dengan undang-undang Agraria sehingga menimbulkan protes rakyat Minangkabau.

Ketiga, di samping konflik tanah terutama tanah warisan di Minangkabau yang tidak bisa terlepas dari perkembangan ekonomi uang dan merantau. Tekanan jumlah penduduk merubah pola pengunaan tanah. Tanah pusaka tidak lagi mampu menampung anggota rumah gadang, sehingga menimbulkan permasalahan dan persengketaan.

Keempat, saat sekarang ini konflik tanah telah banyak disebabkan oleh kebijakan pemerintah kita sendiri. Dengan dalih untuk mendapatkan pajak yang besar, maka sering kali mengabaikan hak atau hukum adat yang berlaku terutama dalam aturan tanah di Minangkabau ini. Sehingga sering memunculkan konflik antara masyarakat setempat dengan pemerintah maupun antara masyarakat setempat dengan pihak pengusaha yang diberi izin oleh pemerintah.

Akhirnya, mengingat posisi tanah sesungguhnya sangat penting dalam kehidupan manusia, apalagi mengingat di Sumatera Barat banyak sekali permasalahan tanah ini muncul seperti ketika para investor inggin menanamkan modalnya di ranah Minang ini. Untuk itu perlu kiranya semua elemen masyarakat yang ada, mulai bergendengan tanggan memecahkan persoalan tanah tersebut. Dengan catatan nanti tidak ada pihak yang terugikan lagi, masyarakat hidup dengan aman dan sejahtera, para investor senang menanamkan modalnya di Sumatera Barat. Sehinga memunculkan ranah Minang yang benar-benar ranah yang terbebas dari persoalan konflik tanah. Wassallam.